Tanah Jawa yang Menjanjikan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sudah hampir tujuh tahun berkelana di tanah Sembilan Wali
ini. Aku memuji nan bangga kepada diri ini yang sudah bersi keras lantang
kepada kondisi dan harapan. Banyak hal menarik yang disampaikan kota Malang
khususnya kepadaku. Mereka terus memancarkan ayunan kasih dan jutaan candaan
agar semua orang termasuk aku betah dan rindu akan panorama yang ditunaikan.
Pada pertengahan tahun dua ribu delapan belas lalu saya bermimpi tentang “miracle”
di pulau Jawa. Seperti tanda perkara yang akan menghampiriku. Nuansa pulau
Jawa semakin liar mengisi jaringan sel otak-ku. Tatkala riang aku pun merasa
disembeli oleh ingatanku kala itu. Akhirnya memutuskan untuk melancong ke Tanah
Jawa. Tempatnya Sembilan Wali bermukim. Sebelumnya aku bekerja disebuah tokoh
material bersama seorang teman. Namanya Maris. Dia sudah aku anggap seperti
saudara sendiri,karena kita berteman sejak masih berada di Sekolah Menengah
Pertama. Sebelum pagi menyambut,sorenya aku langsung mengambil upah bulanan-ku di
tempat aku bekerja,disalah satu tokoh yang berada disekitar Kilometer
9,Balikpapan.
Detik-detik
keberangkatan
Sepulangnya dari tempat kerja,aku
mengajak ngobrol Maris untuk menyatakan perpisahan dengannya kala itu.
Kesedihan pun terungkap. Mungkin suatu waktu akan bertemu kembali. Aku
mengatakan bahwa besok pagi aku akan ke Tanah Jawa.
“Eja, besok
aku mau ke Jawa. Tiketnya sudah saya pesan”. (eja=bro)
“ Lah,kamu
ngapain kesana?”
“Aku mau
mencari pengalaman baru disana”
Maris
terlihat sedih dan saya melihat isak sakit hati yang tak kasat mata itupun
mulai terkemas. Berada dalam ruang kepedihan kami berbincang tentang cita-cita
dan impian yang kami harapkan akan datang menyambut kami. Saat malam mulai
dekat,kami membeli minuman beralkohol (ciu) untuk menyatakan perpisahan sembari
“cheers”. Minuman itu saya beli dari hasil jual handphone milik
saya sendiri dengan harga lima ratus ribu yang ditukar dengan lima botol arak.
Betapa bodohnya aku kala itu, hehehe. Si jantan pun berkokok tanda pagi
mengaung. Aku berkemas dan berpamitan dengan seisi rumah tempat aku berteduh.
Dibantu seorang teman yang mau mengantarkan aku menuju Bandara Sultan Aji
Muhammad Sulaiman atau lebih dikenal Sepinggan International Airport.
Ketika
sampai di Bandara aku langsung mengambil tiket pesananku dengan memegang sebuah
Kartu Tanda Penduduk. Disana aku melihat banyak sekali calo yang menghampiriku.
Karena ini merupakan kali pertamanya aku naik pesawat. Aku kebingungan dengan
kode pesawat yang akan aku tumpangi. Disana ada seorang calo yang baik hati
datang menghampiri karena dia melihatku sedang kebingungan. Aku begitu risau
kala itu. Alhasil dia mengantarkan aku ke ruang tunggu yang sesuai dengan ticket-ku.
Tanpa
Handphone dan Tujuan
Ketika berada dalam ruang tunggu barulah aku menyadari
kemana tujuanku dan siapa yang akan aku datangi. Aku semakin risau. Akhirnya
aku melihat ada seorang pemuda yang sedang bertelponan dengan seseorang. Aku
menghampirinya dan mengajaknya berbincang.
“Mau kemana
bang?”
“Banyuwangi
mas. Sampeyan mau kemana?”
“Nah,itu
bang saya sendiri juga nggak tau mas?
“Lah?.
Sampeyang tujuannya kemana mas?”
“Saya mau
merantau ke Jawa bang,tapi nggak tau ke Jawa mana. Tapi saya turunnya di
Surabaya bang.”
Tatapan aneh dari mas-masnya membuat
saya semakin terjerumus dalam kebingungan. Saya memberanikan diri untuk
meminjam handphone-nya untuk membuka Facebook. Dan syukurnya dia
mengijinkannya. Pun kemudian saya memberitahukan beberapa orang teman yang
berada disekitaran Kota Surabaya. Puji Tuhan akhirnya saya mendapatkan nomor
whatsapp teman saya yang berada di Surabaya. Pesawat telah tiba diringi suara calling
dari salah satu pramugari atau apalah sebutannya saya juga kurang paham, maklum
baru pertama naik pesawat. Saya mengembalikan handphone milik mas-nya
sambil mengulurkan tangan dan mengucap ;
“Terima
kasih banyak bang atas bantuannya”
“Sama-sama
mas,mari kita berangkat”.
Kita menuju ke lapangan pelandasan
tempat pesawat itu. Saya masih ingat muka mas-nya walaupun agak samar-samar.
Diatas pesawat saya mulai memikirkan gimana caranya agar saya bisa memberi tahu
kepada teman saya bahwa saya sudah melepas landas. Usut-punya-usut pesawat pun
melepas landas. Saya merasa seperti sebuah mimpi. Iya,kalian tahu sendirilah
orang kampung ketika nyobain hal baru. Satu hal yang saya takutkan waktu itu
adalah kecelakaan ketika pesawat jatuh. Imajinasi ini muncul karena saya sering
menonton film-film action,perampokan diatas pesawat dan peperangan. Syukurnya
kami semua tiba di Surabaya dengan selamat dan tentunya berkat campur tangan
Tuhan.
Kota
Surabaya dan Teriknya Matahari
Dari ketinggian beberapa ratusan meter saya melihat
perairan sawah dan lading yang membentang luas dan ribuan rumah-rumah yang
berdempetan. Saya merasakan sambutan dari Tanah Jawa. “sugeng rawuh
maseehh”.
Saya
merinding waktu itu karena baru pertama kali melihat suatu hal dari atas Gedung
yang tanpa saya pijakki. Roda pesawat menyentuh lapang dengan sempurna. Getaran
dan hentaknya membuat saya sedikit takut. Setelah beberapa jam duduk dikursi
pesawat tanpa bisa berdiri karena bingung akhirnya aku bisa berdiri dan
berjalan disepanjang lapan landasan. Ruangan yang penuh dengan ratusan
penumpang itu kembali aku temui namun dipulau yang berbeda. Aku keluar dari
gendung bandara sambil melirik kepada mereka yang sedang menggenggam handphone.
Aku berjalan menuju parkiran travel. Kala itu aku tidak mempunyai uang
sepeserpun. Hanya pakaian dan ijazah yang ada dalam ransel-ku. Di ujung
parkiran yang luas ini aku melihat ada seorang sopir travel yang sedang makan
siang dengan bungkusan nasi yang beukuran kecil. Kita biasa menyebutnya ”Nasi
Kucing”. Aku menghampirinya dengan wajah letih tuk meminta pertolongan darinya.
“Permisi
pak,saya mau minta tolong bisa?”
“Nggih,ada
apa mas?
“Anu pak.
Saya mau pinjam Hp bapak soalnya mau nelpon teman saya biar dia jemput saya
disini pak.”
“Oh
nggih,monggo mas. Telpono mas.”
“Saya pinjam
ya pak”,sembari menjemput hp dari genggamannya.
Saya menelpon teman saya yang
nomornya saya catat sewaktu di Balikpapan tadi. Akan tetapi kabar buruk pun
terdengar. Dia mengatakan bahwa dia tidak bisa menjemput sekarang karena tidak
punya sepeda motor dan dia masih bekerja. Dia turut mengatakan agar saya
menumpangi bus yang tujuannya ke Tanjung Perak dan dia yang akan membayarnya.
Saya terdiam dalam kekecewaan. Karena waktu itu saya tidak memegang uang
sepeserpun,saya takut untuk menumpangi bus. Akhirnya, saya memilih untuk
berjalan saja.
“Alamat
kalian dimana?”
“ Kami di
Tanjung Perak, kalau kamu mau kesini bilang saja Pom Bensin di Jl.
Jakarta,mereka udah tahu semua.”
Saya
mencatat alamat ini. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada bapak
pemilik hp itu. Saya pun langsung pamit pergi.
Dari
Juanda menuju Tanjung Perak
Sesudah berpamitan dengan sopir travel tadi, saya
memulai perjalanan yang sangat memacu adrenalin saya. Tanpa makan dan minum
yang dibekali saya berjalan diatas sepanjang jalan Tol. Sudah sejauh beberapa
kilometer hingga melewati gerbang keluar bandara saya berjalan bagaikan seorang
musafir sejati. Dehidrasi menghampiri dan lengket aliran keringat
diselangkangan sangat mengganggu perjalanan saya. Sampai ketika saya melihat
dari kejauhan bahwa ada gerbang tol entah itu yang keberapa saya sudah lupa.
Seorang penjaga tol itu langsung menghampiri saya dan berkata;
“Mas,mau
kemana?”
“Saya mau ke
Tanjung Perak pak.”
“Maaf mas
nggak boleh berjalan diatas jalan ini mas. Mas-nya lewat jalan bawah aja ya.”
“Oh iya baik
pak. Maaf ya pak saya nggak tau”.
Saya pun turun kejalan bawah tol. Dibawah
udaranya sangat dingin dan lebih mendingan karena diterpa angin siang. Saya
berjalan sembari bertanya kepada orang-orang yang berpapasan. Mereka hanya
menggelengkan kepala karena merasa heran dengan tujuan perjalannya saya. Sejauh
ingatan saya. Saya berjalan sampai ke Darmo. Disana saya bertemu dengan seorang
tukang kuli serabutan yang sedang memperbaiki selokan dengan kumuhnya karena
bermain dengan campuran semen. Daya Tarik dehidrasiku menjunjung aku untuk
meminta sesuatu pada kuli serabutan itu. Berusaha mendekati dengan Lelah
langkah yang bernyanyi puluhan kilometer.
“Permisi
pak, saya boleh minta air minumnya?. Saya haus sekali pak”.
“ Oh monggo
mas. Sik sik ta tuangno nang botol yo…”
“Iya pak
terima kasih banyak ya pak”.
Riang-peri-sedih-senang
menari-nari disepanjang ragaku. Teriakan halu tanda terima kasih berkobar-kobar
menuju kuli serabutan itu. Sedang meneguk air dengan bunyi tegukkan yang
sedikit aneh membuat susunan percakapan semakin dalam.
“Darimana
dan mau kemana mas?”
“Saya dari
Juanda dan mau ke Tanjung Perak,pak. Bapak tau habis darisini jalannya lewat
mana lagi”.
“Hah? dari
Juanda?”
Mendengar kalimat saya itu,dia
langsung menaruh sisi kasihan karena penampilan saya yang sudah kusuh sebab
lumuran keringat. Ditambah lapar yang membuat aku semakin lemas. Entah hidayah
apa yang membentang pertemuan kami waktu itu, iya semacam wahyu-lah. Dia
menyuruhku untuk menunggu sebentar sementara dia pergi dan hanya menitip pesan
untuk menjaga barang-barang pekerjaannya sebentar. Saya pun menurutinya karena
sudah dikasih minum. Beberapa menit kemudian dia datang dengan wajah gembira
dan langsung memegang tangan kanan saya yang bergandengan langsung dengan
tangan kirinya selagi mengepal.
“ saya belum
bisa bantu lebih mas,tapi mudah-mudahan ini bisa membantu untuk bekalmu menuju
Tanjung Perak. Karena sampeyan orang baru jadi bisa dua hari baru bisa sampai
kesana karena saya yakin sampeyan pasti muter-muter karena kebingungan jalan”.
“Wahh,nggak
usah pak. Saya masih kuat pak. Ini buat beli sesuatu untuk keluarga aja pak”.
“ Demi Allah
mas saya ridho. Semoga sampai tempat tujuanmu dengan selamat ya Mas”.
Dia sangat kasihan padaku. Aku
merasa bersalah karena sudah menerima uang itu dan juga sudah minta air pada
kuli serabutan itu. Tapi disisi lain saya sangat membutuhkannya. Pun saya
menganggap bahwa dialah Tuhan-ku yang menyamar jadi kuli serabutan. Saya pun
menyuarakan kalimat sumpah kepada diri sendiri dengan alunannya seperti ini;
“Untuk
kalian para kuli ; apapun jenis kulinya,kalian adalah saudaraku. Aku selalu ada
jika kalian ditindas dan tidak dihargai”.
Kalimat ini
saya rawat dan terus terngiang untuk menjunjung tinggi nilai persaudaraan aku
dan kuli-ku.
Bersambung…………….
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar