Coretan Luka
Pernah mengakhiri cinta dengan nada
ciuman yang sudah dihembuskan,apakah itu kecupan romansatika? Hmmm,aku termasuk
badut tak bersenjata yang mendulang dalam keprihatinan. Cerita ini lahir ketika
dua ruang sedang memacu dirundup keterbatasan pikiran. Aku menulis ini untuk
sang kekasih yang tak cukup memandu insan. Bukankah begitu cinderella-ku?.
Aku pernah
memana dalam putaran waktu. Kala itu sedang memetik untaian tali kecapi yang
menghias di ingatan. Entah tiraian manalagi yang akan aku gaungkan. Memaksa batin
untuk terus terang pada kecukupan candu. Aku tau betapa cengengnya diriku.
Hanya darimu yang selalu menganggapku kelabu. Pusing! Adalah aku yang selalu
tertawa dalam sedih tiranimu. Kau selalu menang dalam perihal kata tanya,tanpa
kau garuk betapa tersiksanya diriku. Anggapan itu hanya sebuah dusta bagi kita
yang belum menyatu. Berlari-menari-dan berpaling adalah buruknya siksaan
candamu. Hmmm,aku tau itu hanya semata mengulang kisah kita dan dirimu. Ricuh
pun sudah tak terbendung dan aku sekali lagi hanya bisa mencicipinya.
Seandainya
kata bersambung tidak ditumbuh-tindihkan,mungkin aku bisa meniru urutan nadi
yang sempat menumpuk pada rias telunjukmu. Waktu terus bertanya. Udara terus
berkendara. Namun,kau masih bersandar dalam luka yang pernah kita gores
bersama.
Anggapan
macam apa ini?,maukah sinden-mu,aku ajak melaju jauh dari tiru dan caramu. Hah,
pangkuan ini hanyalah dusta yang berkaca-kaca. Wangian lagu dari katup
kepalanmu terus memupuk entah kemana akan kau semburkan. Elok jika berdansa
didepan cemara yang kita rawat waktu kita berlabu di perairan dermaga. Teringat
tepukkan dipundak bertanda kita pernah saling memandu. Tertawa ria tatkala kita
saling memuji dan bersyukur karena cinta yang saling menumbuhkan. Ingatkah kau
akan pahlawanmu?
Yakinkan aku
bahwa kau sudah menyatu dengan kisah barumu. Rakitan kisah kita sudah melambung
jauh hingga terdengar dipelukan sembilu.
Sembunyi
adalah ranaan yang pernah kita acungkan sembari terguling. Ramai ya kala
itu…..Malu?,pernah kemari namun anggapan dia bukan seleraku. Punya cerita yang
sama dengan Patrisia anak kelas sebelas A yang meneduh di belasan bangku
sepulang sekolah. Membawa ransel yang penuh harapan lalu menemuinya bak kapal
pesiar yang mogok di segitiga bermudah. Kursi teman yang tak beraturan sedang
kita jumpai. Walau hanya berdua,anggapan kita selalu ramai beriringan dengan
isak tangis dan rumunan pilu.
Saling
mengadu diantara kami tentang salinan kekasih. Sejak kapan aku muak dengan cinta?
Mungkin itu hanya firasatmu saja. Kunci kelas pernah diselundupkan agar kita
bisa bercerita tentang kemesraan kisah. Andai saja kau tidak memegangnya kala
itu,mungkin aku masih berada diselah-selah bangku yang pernah kita tempak-ki.
Sepatu busukmu yang menukik tepat diruang hidungku yang sejenak menyergap. Aku
tertawa waktu itu. Melepas reaksi tentang semberonohnya kisah persahabatan
kita. Tapi sejauh hari terus bersaksi aku tidak cukup menidurkan kisah hanya
dalam delapan jam. Jemari terus berlari merampas kisah yang mendulang dalam
keseharian kita. Hehehe,,,
Makasih
ya,buat kenangan yang kau ikat ini. Sebut saja kisah Franklin dalam buku
anak-anak yang pernah kita bahas di depan lapangan. Pasti ada yang aneh dengan
mata bagian kirimu. Bingung ya?
Sudahlah
lupakan saja. Itu hanya tipuanku untuk menenangkanmu. Pernah sih,waktu
berbelanja di sebuah tokoh sepatu. Aku mengenang cerdiknya impianmu untuk
melukaiku. Apakah aku marah? Gundamu yang membuat aku sejenak tegang dan
menahan nafas untuk keempat kalinya. Tawa untuk menutupi kecupanmu. Buat siapa
sih segala parasan ini?
Gimana kalau
kita beli cilok aja ya? Yakali bakalan ada yang jual disekitaran jembatan ini.
Kata samar yang kau umpan tuk mengelabui waktu. Kini sudah tak asing lagi jika
mengumpat pada tindik telinga kirimu. Jauh ya! Kata musang yang pernah kau ukir
disamping meja. Celakalah kita! Ungkap ketakutan yang hampir saja nyata
kejadiannya. Latar belakang kita pernah dirampas senja yang sering aku tuduh
sebagai pelaku utama. Ehh, kita pernah rebahan di tangga sekolah waktu ada
acara rapat kenaikan kelas.
Ingatan
mereka tak luput dari sindiran dan keselarasan yang berpacu. Nilai cinta hanya
meredup jika kelabu belum sempat dijunjung tinggi antara “hanya” dan “kalau”.
Capeh juga ya,jika terus memuja masa lalu. Sebenarnya sih aku kuat,tapi ruangan
pedih-ku yang terus meluap,menjanjikan aku pasrah dan tertawa. Halah,itu
hanyalah bualan ide dan karisma-ku yang sudah tujuh tahun bergantung di tumpuan
keningku. Aku merasa kalah jika terus-terusan menghembus. Apasih yang
membutakan aku? Bukankah ini hanyalah sakit sesaat?
Tapi aku
tidak bisa murka dari ketulusan ini. Niat dan carik-ku terus menuai bahkan
untuk menunduk saja perlu cekatan biar bisa menghindar dari bayangan gelas yang
pernah kau pinjamkan. Anggapanku mengenai kita tidak hanya benar tapi sudah bisa
diperlihatkan. Lantang banget ya kita!
Sudahlah
mungkin coretan ini bisa sembuh jika salah satu dari kita pasrah dan berhenti
menjuang kuatnya ingatan. Kita akan menjadi kita jika kita terus menerus ingin
menjadi kita. Anggap aja luka ini hanyalah sebatan yang pernah kita kecup
perihal sesaat. Aku sudah tak candu lagi dengan pertikaian serupa. Manakala
mendiangnya sudah bersandar di dermaga selanjutnya. Anggap aja coretan luka ini
adalah karya sejati yang pernah kita obrak-obrak ketika kita sedang melaju
dipersimpangan kota dengan kisah cinta yang kita jalin dalam semboyan
angan-angan kita.
Komentar